Wisata Banyuwangi - Taman Nasional Alas Purwo merupakan satu dari dua taman nasional yang terdapat di Banyuwangi, satunya lagi adalah Taman Nasional Meru Betiri.
Taman Nasional Alas Purwo, atau sering disebut TNAP, yang memiliki luas area seluas 43.420 hektare dan berada di ketinggian 322 meter di atas permukaan laut ini, semula bernama Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan, dan sejak tahun 1992 secara resmi dijadikan taman nasional oleh Kementerian Kehutanan. Wilayah Taman Nasional Alas Purwo ini masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus, yaitu Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi.
Nama Alas Purwo sendiri memiliki arti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Istilah Purwo dalam Bahasa Jawa berarti kawitan atau permulaan, sehingga Alas Purwo berarti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Alas Purwo dipandanga sebagai situs penciptaan pertama di bumi, tanah awal mula. Bagi masyarakat Banyuwangi, tempat ini dikenal sangat angker dan dikeramatkan. Penduduk sekitar percaya di Alas Purwo terdapat istana jin yang menjadi tempat bagi seluruh jin yang ada di Pulau Jawa berkumpul. Warga sekitar sering melihat penampakan-penampakan makhluk halus. Hal ini diperkuat dengan kondisi alam setempat yang berupa hutan yang masih perawan, banyaknya gua, dan terdapat sejumlah situs-situs yang seringkali dijadikan tempat pelaksanaan beragam ritual kepercayaan dan keagamaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari legenda bahwa Alas Purwo merupakan tempat terakhir dari pelarian rakyat Majapahit dari desakan penyebaran Agama Islam pada masanya.
Setiap tahun ratusan bahkan ribuan umat Hindu dari Bali dan Banyuwangi mengunjungi sebuah pura yang terletak di tengah Alas Purwo. Sedangkan setiap tanggal 1 Suro dan saat bulan purnama, banyak warga yang datang ke Alas Purwo untuk bersemedi, mencari wangsit atau sekadar lelaku gaib. Sehingga banyak yang meyakini, Alas Purwo adalah tempat yang paling angker di Pulau Jawa.
Hutan di kawasan Alas Purwo menjadi salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah yang ada di Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki sedikitnya 6 ekosistem, yaitu hutan bambu, hujan pantai, hutan mangrove, hutan alam, hutan tanaman dan padang rumput. Hutan bambunya mendominasi sekitar 40% kawasannya.
Sebagai hutan hujan, TNAP menjadi tempat yang ideal bagi beragam flora dan fauna di dalamnya. Setidaknya terdapat 13 jenis bambu serta 580 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana dan pepohonan. Diantaranya adalah pohon jati, sawo kecik, dan bambu.
Disamping kekayaan flora, Alas Purwo juga kaya akan jenis fauna daratan, baik kelas mamalia, aves dan herpetofauna (reptil dan amfibi). Ditemukan 50 jenis mamalia hidup di Alas Purwo. Beberapa jenis mamalia yang ada di sana adalah banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), ajag (Cuon alpinus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), lutung (Tracypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jelarang (Ratufa bicolor), rase (Vivericula indica), linsang (Prionodon linsang), luwak (Paradoxurus hermaprhoditus), garangan (Herpestes javanicus), kucing hutan (Felis bengalensis), dan burung merak. Selain itu terdapat beragam spesies penyu bersemayam di TNAP ini.
Jika beruntung, hewan-hewan tersebut bisa anda saksikan secara bebas berkeliaran di pinggir jalan yang terdapat di dalam kompleks Alas Purwo.
Taman Nasional Alas Purwo yang memiliki luas 43.420 hektare ini masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus, yaitu Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo.
Untuk mencapai Taman Nasional Alas Purwo, Anda bisa memilih rute Banyuwangi kota menuju ke Kecamatan Rogojampi-Srono-Muncar-Tegaldlimo. Dari Tegaldlimo sekitar 10 km melalui jalan makadam, Anda akan menemukan Pos Rawabendo, yang merupakan gerbang utama Taman Nasional Alas Purwo.
Jika Anda datang dari arah Jember, maka Anda harus menuju Kecamatan Genteng sejauh 65 km, lalu dilanjutkan menuju Jajag sejauh 15 km. Rute selanjutnya adalah Jajag-Srono-Muncar-Tegaldlimo-Alas Purwo.
Perjalanan menuju Taman Nasional Alas Purwo bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Alternatif lain adalah menyewa mobil, karena tidak ada kendaraan umum yang memiliki trayek sampai Alas Purwo. Dari Banyuwangi kota diperlukan waktu tempuh sekitar 2 jam untuk mencapai gerbang Alas Purwo.
Di Pos Rowo Bendo tersebut pengunjung melapor sekaligus membayar retribusi resmi sebesar Rp 5 ribu untuk wisatawan nusantara dan Rp 150 ribu untuk wisatawan asing. Retribusi ini akan masuk ke kas negara sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Alas Purwo, dibawah Kementerian Kehutanan.
Meskipun terkesan angker dan memiliki kesan magis, sebenarnya Alas Purwo merupakan tempat yang menarik untuk berwisata. Anda bisa mencoba menelusuri hutan Alas Purwo yang menyimpan lokasi wisata yang lengkap bagi pecinta alam, menjelajah hutan nan asri, mengamati tumbuhan nan kaya jenis maupun bentuknya. Ada pula wisata pantai yang menakjubkan, berselancar dan juga wisata ziarah atau wisata budaya.
Di Taman Nasional Alas Purwo terdapat sejumlah lokasi favorit yang bisa Anda kunjungi, yaitu :
SADENGAN
Hutan bambu ini mungkin sekitar 500 meter dari Pos Pancur. Di sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan banyak bambu yang panjang dan melengkung. Ditambah dengan suasana yang masih alami, tidak ada manusia atau pos penjagaan di dalam hutan bambu, suasananya makin terasa magis!
Beberapa kali, kicauan burung terdengar dari atas pepohonan yang tinggi. Anda pun harus hati-hati melangkah, sebab tanahnya terasa licin jika malam harinya hujan. Ada baiknya Anda menggunakan sepatu daripada sandal jepit.
Suasana magis makin berasa ketika memasuki bagian dalam hutan bambu. Makin banyak bambu yang menutupi jalan dan Anda harus menundukan kepala melewati beberapa bambu yang melengkung. Bambu-bambu di dalam hutannya merupakan jenis bambu jajang.
Hutan bambu memang menjadi jalan yang bakal dilalui bagi wisatawan yang mau ke Gua Istana. Meski begitu, jangan lewatkan momen melewati hutan bambu begitu saja tanpa melakukan pengambilan gambar di antara bambu-bambu di sana.
Taman Nasional Alas Purwo, atau sering disebut TNAP, yang memiliki luas area seluas 43.420 hektare dan berada di ketinggian 322 meter di atas permukaan laut ini, semula bernama Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan, dan sejak tahun 1992 secara resmi dijadikan taman nasional oleh Kementerian Kehutanan. Wilayah Taman Nasional Alas Purwo ini masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus, yaitu Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi.
Nama Alas Purwo sendiri memiliki arti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Istilah Purwo dalam Bahasa Jawa berarti kawitan atau permulaan, sehingga Alas Purwo berarti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Alas Purwo dipandanga sebagai situs penciptaan pertama di bumi, tanah awal mula. Bagi masyarakat Banyuwangi, tempat ini dikenal sangat angker dan dikeramatkan. Penduduk sekitar percaya di Alas Purwo terdapat istana jin yang menjadi tempat bagi seluruh jin yang ada di Pulau Jawa berkumpul. Warga sekitar sering melihat penampakan-penampakan makhluk halus. Hal ini diperkuat dengan kondisi alam setempat yang berupa hutan yang masih perawan, banyaknya gua, dan terdapat sejumlah situs-situs yang seringkali dijadikan tempat pelaksanaan beragam ritual kepercayaan dan keagamaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari legenda bahwa Alas Purwo merupakan tempat terakhir dari pelarian rakyat Majapahit dari desakan penyebaran Agama Islam pada masanya.
Setiap tahun ratusan bahkan ribuan umat Hindu dari Bali dan Banyuwangi mengunjungi sebuah pura yang terletak di tengah Alas Purwo. Sedangkan setiap tanggal 1 Suro dan saat bulan purnama, banyak warga yang datang ke Alas Purwo untuk bersemedi, mencari wangsit atau sekadar lelaku gaib. Sehingga banyak yang meyakini, Alas Purwo adalah tempat yang paling angker di Pulau Jawa.
Perjalanan menuju Sadengan |
Sebagai hutan hujan, TNAP menjadi tempat yang ideal bagi beragam flora dan fauna di dalamnya. Setidaknya terdapat 13 jenis bambu serta 580 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana dan pepohonan. Diantaranya adalah pohon jati, sawo kecik, dan bambu.
Disamping kekayaan flora, Alas Purwo juga kaya akan jenis fauna daratan, baik kelas mamalia, aves dan herpetofauna (reptil dan amfibi). Ditemukan 50 jenis mamalia hidup di Alas Purwo. Beberapa jenis mamalia yang ada di sana adalah banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), ajag (Cuon alpinus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), lutung (Tracypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jelarang (Ratufa bicolor), rase (Vivericula indica), linsang (Prionodon linsang), luwak (Paradoxurus hermaprhoditus), garangan (Herpestes javanicus), kucing hutan (Felis bengalensis), dan burung merak. Selain itu terdapat beragam spesies penyu bersemayam di TNAP ini.
Jika beruntung, hewan-hewan tersebut bisa anda saksikan secara bebas berkeliaran di pinggir jalan yang terdapat di dalam kompleks Alas Purwo.
Taman Nasional Alas Purwo yang memiliki luas 43.420 hektare ini masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus, yaitu Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo.
Untuk mencapai Taman Nasional Alas Purwo, Anda bisa memilih rute Banyuwangi kota menuju ke Kecamatan Rogojampi-Srono-Muncar-Tegaldlimo. Dari Tegaldlimo sekitar 10 km melalui jalan makadam, Anda akan menemukan Pos Rawabendo, yang merupakan gerbang utama Taman Nasional Alas Purwo.
Jika Anda datang dari arah Jember, maka Anda harus menuju Kecamatan Genteng sejauh 65 km, lalu dilanjutkan menuju Jajag sejauh 15 km. Rute selanjutnya adalah Jajag-Srono-Muncar-Tegaldlimo-Alas Purwo.
Perjalanan menuju Taman Nasional Alas Purwo bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Alternatif lain adalah menyewa mobil, karena tidak ada kendaraan umum yang memiliki trayek sampai Alas Purwo. Dari Banyuwangi kota diperlukan waktu tempuh sekitar 2 jam untuk mencapai gerbang Alas Purwo.
Di Pos Rowo Bendo tersebut pengunjung melapor sekaligus membayar retribusi resmi sebesar Rp 5 ribu untuk wisatawan nusantara dan Rp 150 ribu untuk wisatawan asing. Retribusi ini akan masuk ke kas negara sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Alas Purwo, dibawah Kementerian Kehutanan.
Jalan pertigaan dekat Pos Rawa Bendo menuju situs Kawitan, Sadengan, Pantai Trianggulasi, dan Pantai Ngagelan. |
Di Taman Nasional Alas Purwo terdapat sejumlah lokasi favorit yang bisa Anda kunjungi, yaitu :
SADENGAN
Berwisata ke Taman Nasional Alas Purwo jangan sampai melewatkan mampir ke Sadengan, yang jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari pintu masuk Pos Rawa Bendo. Sadengan merupakan padang savana membentang seluas 84 hektar yang berada pada Taman Nasional Alas Purwo. Berada di Sadengan seakan-akan Anda seperti berada di Afrika. Di sini Anda akan menjumpai kawanan satwa liar, seperti Sapi, Banteng Jawa, Rusa, sampai burung merak yang lagi bergerombol dan berkeliaran bebas di Sadengan. Ada juga anjing hutan alias Ajag. Anda akan merasa terkagum-kagum saat melihat pemandangan alam Sadengan.
Untuk memberi keleluasaan bagi para pengunjung di Sadengan didirikan menara pandang dari kayu dengan tiga lantai. Pengunjung bisa menaiki menara dan melihat kehidupan aneka satwa di alam bebas.
Bila Anda ingin memotret lebih dekat banteng atau rusa di alam liar tersebut yang lagi berjemur atau mencari rumput, mintalah bantuan kepada petugas untuk mengantarkan Anda memasuki padang savana
Menara Pandang di Sadengan |
Bila Anda ingin memotret lebih dekat banteng atau rusa di alam liar tersebut yang lagi berjemur atau mencari rumput, mintalah bantuan kepada petugas untuk mengantarkan Anda memasuki padang savana
Anda bisa naik mobil atau sepeda motor untuk tiba di Sadengan. Sebaiknya pakai mobil jeep, karena jalanan menuju ke Sandengan masih alami dan berupa bebatuan tanpa aspal yang mulus.
Luas Sandengan mencapai 84 hektar. Tak hanya melihat dari luar pagar, wisatawan juga bisa masuk ke dalam pagar dan menjelajahi padang savana yang luas ini dengan berjalan kaki. |
Saat cahaya matahari sedang terik-teriknya, saat itulah pemandangan ala Afrika terpampang jelas di depan mata.
Anda dapat melihat kawanan banteng jawa dari jarak sekitar 20 meter. Meski begitu, Anda bakal melihat jelas banteng jawa yang berwarna hitam dengan tanduk runcing berbentuk 'U'.
Banteng jawa atau bos javanicus yang hitam adalah banteng jantan. Sedangkan satu lagi yang berwarna cokelat, adalah banteng betina. Tahun 2012 ada sekitar 125 ekor populasi banteng Jawa di Sandengan.
Kawanan rusa juga terlihat jelas di Sandengan. Mereka lebih sensitif terhadap manusia, sehingga lebih cepat lari kalau Anda mencoba mendekat.
PURA GIRI SELAKA DAN SITUS KAWITAN
Di tengah-hutan Taman Nasional Alas Purwo terdapat Situs Kawitan yang merupakan situs peninggalan kerajaan Majapahit. Situs Kawitan ditemukan secara tidak sengaja oleh penduduk sekitar pada tahun 1967 (ada yang menyebut tahun 1965) dan mulai dibuka untuk kegiatan keagamaan pada tahun 1968.
Menurut penuturan Mbah Mujioto, salah seorang pemangku sekaligus tokoh yang disegani umat Hindu, pada tahun 1967 penduduk desa yang melakukan pembabatan hutan tidak sengaja menemukan gundukan tanah. Dalam gundukan tanah tersebut ternyata terdapat bongkahan batu bata besar yang masih tertumpuk. Persis bentuknya seperti gapura kecil. Lalu, masyarakat desa sekitar membawa batu bata tersebut pulang ke rumah masing-masing hendak bermaksud dijadikan tungku dapur dan alas rumah. Rupanya selang beberapa hari masyarakat yang mengambil batu bata tersebut terkena musibah, yakni banyak warga yang menderita sakit. Semenjak itulah masyarakat menyimpulkan, bahwa batu bata ini bukan batu bata biasa, lalu bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempat semula.
Menurut Mbah Mujito, di sekitar situs Kawitan Alas Purwo secara gaib terdapat bangunan berupa gapura-gapura agung yang menyerupai bangunan gapura kerajaan Majapahit. Hal itu semua orang dapat melihat, jika orang-orang mau melakukan semacam brata atau tirakat yang tidak main-main. Tirakat yang dilakukan, yaitu dengan melek selama tiga hari tanpa makan minum, dan yang terpenting adalah selama brata tidak diperbolehkan sedikitpun ada perasaan marah atau rasa benci terhadap apa pun. Jika hal itu bisa dijalankan dalam hitungan detik seseorang akan dapat melihat penampakan bangunan gapura-gapura gaib yang banyak pula prajurit dan orang-orang yang berlalu lalang.
Menurut penuturan Mbah Mujioto, salah seorang pemangku sekaligus tokoh yang disegani umat Hindu, pada tahun 1967 penduduk desa yang melakukan pembabatan hutan tidak sengaja menemukan gundukan tanah. Dalam gundukan tanah tersebut ternyata terdapat bongkahan batu bata besar yang masih tertumpuk. Persis bentuknya seperti gapura kecil. Lalu, masyarakat desa sekitar membawa batu bata tersebut pulang ke rumah masing-masing hendak bermaksud dijadikan tungku dapur dan alas rumah. Rupanya selang beberapa hari masyarakat yang mengambil batu bata tersebut terkena musibah, yakni banyak warga yang menderita sakit. Semenjak itulah masyarakat menyimpulkan, bahwa batu bata ini bukan batu bata biasa, lalu bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempat semula.
Bongkahan-bongkahan batu bata tersebut menurut Mbah Muji maupun masyarakat Hindu sekitar Tegal Delimo ada kaitanya dengan perjalanan Rsi Markendya menuju Bali. Demikian pula ada keyakinan lain, bahwa gundukan batu bata tersebut dahulunya merupakan tempat pertapaan Mpu Baradah. Meski belum ada catatan berupa prasasti yang menguatkan atau membuktikan hal itu, namun secara pasti dan atas keyakinan umat Hindu di sekitar Tegal delimo, bahwasannya situs tersebut sebagai pemujaan Mpu Beradah. Untuk selanjutnya, situs tersebut diayakini sebagai tempat yang sangat suci, sehingga dekat situs itu kemudian didirikan Pura Giri Selaka.
Tak jauh dari situs Kawitan terdapat sebuah pura yang dikenal dengan nama Pura Giri Selaka. Pura ini dibangun karena umat yang melakukan ritual semakin banyak. Sampai sekarang banyak umat Hindu mendatangi tempat ini untuk melakukan acara keagamaan, yaitu upacara Pager Wesi yang diadakan setiap 210 hari sekali. Pager Wesi merupakan upacara penyelamatan ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh para dewa dari ancaman raksasa yang akan memangsa.
Upacara sakral itu rutin digelar setiap tujuh bulan pada Rabu Kliwon, Wuku Sinta. Pagerwesi berarti pagar dari besi yang melambangkan kekuatan spiritual bagi manusia. Ilmu ini diyakini berasal dari Tuhan yang Maha Esa.
Pagelaran Pagerwesi melewati tiga tahap, yaitu : palemahan, pawongan dan khayangan. Palemahan berupa sesaji bagi tanah sebagai santapan Bhatara Kala; Pawongan merupakan penurunan ilmu dari para dewa; dan Khayangan sebagai rasa syukur atas limpahan ilmu.
Pura Giri Selaka |
Hutan didekat situs kawitan |
PANTAI TRIANGGULASI
Dari Pos Rowo Bendo, Pantai Trianggulasi letaknya hanya sekitar 3km atau tidak jauh dari Pura Giri Seloka. Pantai ini merupakan pantai landai berpasir putih dengan formasi hutan pantai yang didominasi oleh pohon Bogem dan Nyamplung. Meskipun pemandangannya bagus tapi pantai ini berbahaya untuk berenang. Namun menjadi tempat favorit pengunjung untuk berfoto-foto. Pemandangan matahari tenggelam (sunset) di pantai ini sangat indah.Yang menarik, di sekitar pantai banyak terdapat monyet yang akan menyambut kedatangan wisatawan. Terdapat fasilitas wisma tamu dan pesanggrahan.
PANTAI PANCUR
Pos atau resort terakhir di Taman Nasional Alas Purwo adalah Pos Pancur. Ini merupakan pos pemberhentian bagi pengunjung yang akan menuju Pantai Plengkung. Letaknya sekitar 3 km di sebelah timur Pantai Trianggulasi. Di dekat Pos Pancur terdapat Pantai Pancur yang cantik. Di tempat ini terdapat air yang seolah memancur, menembus batuan cadas. Air tawar yang bermuara di Pantai Pancur ini diyakini berkhasiat bisa membuat awet muda.
Pantai Pancur hampir mirip dengan Pantai Parang Ireng, namun bebatuan hitam di Pantai Pancur tidak sebanyak di Pantai Parang Ireng. Banyak pengunjung yang datang ke Pantai Pancur dengan membawa anak-anaknya untuk bermain di tepi pantai. Kontur pantainya yang landai dan pasir putihnya yang halus menjadi kegemaran anak-anak kecil untuk bermain.
Pantai Pancur |
HUTAN BAMBU
Salah satu tempat yang cukup menarik untuk dilihat di TNAP adalah Hutan Bambu. Hutan ini letaknya masih di sekitar Pos Pancur, yang merupakan pos paling timur dari Taman Nasional Alas Purwo atau bisa dibilang inilah ujungnya Banyuwangi.
Untuk menuju hutan bambu, wisatawan harus terlebih dulu memarkirkan kendaraan di Pos Pancur. Setelah itu, Anda bisa berjalan kaki menuju hutan bambu yang searah dengan Gua Istana. Jadi jika Anda mengunjungi Gua Istana akan melewati Hutan Bambu ini.
Hutan bambu ini mungkin sekitar 500 meter dari Pos Pancur. Di sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan banyak bambu yang panjang dan melengkung. Ditambah dengan suasana yang masih alami, tidak ada manusia atau pos penjagaan di dalam hutan bambu, suasananya makin terasa magis!
Hutan bambu di Alas Purwo |
Suasana magis makin berasa ketika memasuki bagian dalam hutan bambu. Makin banyak bambu yang menutupi jalan dan Anda harus menundukan kepala melewati beberapa bambu yang melengkung. Bambu-bambu di dalam hutannya merupakan jenis bambu jajang.
Hutan bambu memang menjadi jalan yang bakal dilalui bagi wisatawan yang mau ke Gua Istana. Meski begitu, jangan lewatkan momen melewati hutan bambu begitu saja tanpa melakukan pengambilan gambar di antara bambu-bambu di sana.
WISATA GUA
TNAP yang berada di wilayah karst menyebabkan taman nasional ini memiliki banyak gua-gua. Tak kurang ada sekitar 44 gua di kawasan Alas Purwo ini. Salah satu yang bisa Anda kunjungi adalah Gua Istana. Dari Pos Pancur Anda harus berjalan kaki sekitar satu jam menyusuri hutan bambu.
Selain Gua Istana, beberapa gua lain yang dianggap keramat dan sering dipakai untuk semedi adalah Gua Padepokan, Gua Mayangkara, Gua Gajah, Gua Haji, Gua Lowo, dan Gua Basori.
Selain Gua Istana, beberapa gua lain yang dianggap keramat dan sering dipakai untuk semedi adalah Gua Padepokan, Gua Mayangkara, Gua Gajah, Gua Haji, Gua Lowo, dan Gua Basori.
MISTERI MAKAM 7 METER
PANTAI NGAGELAN
Alas Purwo dikenal sebagai kawasan yang penuh misteri, salah satunya adalah keberadaan sebuah makam keramat yang memiliki ukuran panjang sekitar 7 meter. Lokasi makam yang tak lazim ini berada di tepian hutan Taman Nasional Alas Purwo, Desa Kalipahit, Kecamatan Tegaldlimo.
Komplek makam unik ini berdiri di atas lahan seluas seperempat hektar. Banyak orang menyebut makam itu sebagai makam Eyang Suryo Bujo Negoro alias Mbah Dowo. Eyang Suryo konon seorang misionaris agama Islam sebelum masa para Wali Songo.
Menurut Mukarop Widodo, juru kunci makam, mbah Buyut Suryo Bujonegoro adalah seorang Senopati dari Demak, pada waktu itu di pimpin oleh Raja yang bernama Raden Patah.
Asal usul Eyang Suryo Bujo Negoro sendiri tidak diketahui secara pasti. Dibatu nisan juga tidak tertulis tanggal atau tahun kapan Mbah Dowo wafat. Konon peziarah dapat mengetahui sejarah Mbah Dowo dengan cara kontak batin.
Panjang makam yang tak lazim tersebut mengundang rasa penasaran. Benarkah Mbah Dowo semasa hidupnya setinggi 7 meter? Atau jangan-jangan makam tersebut hanya sebuah simbol saja? Atau ada alasan logis lainnya?
Menurut Asmadi, juru kunci makam yang lain, saat ditemukan bentuknya memang menyerupai makam lengkap dengan batu nisan terbuat dari batu. Di bagian kaki tumbuh pohon jarak setinggi 3 meter.
Diperkirakan, makam tersebut mungkin sebuah petilasan (tempat singgah tokoh zaman dulu). Namun ada pula yang percaya itu memang makam sungguhan.
Menurut Mukarop Widodo, juru kunci makam, mbah Buyut Suryo Bujonegoro adalah seorang Senopati dari Demak, pada waktu itu di pimpin oleh Raja yang bernama Raden Patah.
Asal usul Eyang Suryo Bujo Negoro sendiri tidak diketahui secara pasti. Dibatu nisan juga tidak tertulis tanggal atau tahun kapan Mbah Dowo wafat. Konon peziarah dapat mengetahui sejarah Mbah Dowo dengan cara kontak batin.
Panjang makam yang tak lazim tersebut mengundang rasa penasaran. Benarkah Mbah Dowo semasa hidupnya setinggi 7 meter? Atau jangan-jangan makam tersebut hanya sebuah simbol saja? Atau ada alasan logis lainnya?
Menurut Asmadi, juru kunci makam yang lain, saat ditemukan bentuknya memang menyerupai makam lengkap dengan batu nisan terbuat dari batu. Di bagian kaki tumbuh pohon jarak setinggi 3 meter.
Diperkirakan, makam tersebut mungkin sebuah petilasan (tempat singgah tokoh zaman dulu). Namun ada pula yang percaya itu memang makam sungguhan.
Menurut mbah Suprat, paranormal asal desa Kedungasri, Tegaldlimo, yang lebih di kenal masyarakat sebagai Wong Samar Alas Purwo, makam mbah dowo buyut Bujonegoro ini banyak di huni oleh beraneka ragam mahluk halus. Selain itu, di dalam makam tersebut terdapat beberapa benda pusaka yang sakti, yang terkenal adalah sebuah tombak yang bernama Kyai Toro Welang.
Seiring berjalannya waktu, makam Mbah Dowo mengalami pemugaran. Karena dari hari ke hari makam misterius tersebut ramai dikunjungi peziarah, khususnya hari Kamis Manis atau bulan Suro. Uniknya lagi, peziarah yang datang bukan hanya dari umat Islam. Melainkan umat Hindu juga.
Peziarah yang datang biasanya hanya berdoa di makam. Atau lelaku ritual dengan cara mengambil air dari sumur dan diwadahi di botol atau gelas. Air tersebut biasanya dibawa pulang peziarah karena dipercaya mujarab bagi ketenangan jiwa.
Saat ini di Timur makam berdiri balai cukup luas dan tinggi. Balai ini berfungsi sebagai tempat istirahat peziarah. Persis di Timurnya lagi berdiri rumah bilik bambu yang dihuni oleh Asmat, juru kunci makam Mbah Dowo.
Selain itu komplek makam Mbah Dowo juga sudah dilengkapi dua kamar mandi untuk MCK. Namun lokasi wisata spritual tersebut belum dilengkapi aliran listrik. Hanya lampu minyak yang menjadi satu-satunya penerangan di malam hari.
Seiring berjalannya waktu, makam Mbah Dowo mengalami pemugaran. Karena dari hari ke hari makam misterius tersebut ramai dikunjungi peziarah, khususnya hari Kamis Manis atau bulan Suro. Uniknya lagi, peziarah yang datang bukan hanya dari umat Islam. Melainkan umat Hindu juga.
Peziarah yang datang biasanya hanya berdoa di makam. Atau lelaku ritual dengan cara mengambil air dari sumur dan diwadahi di botol atau gelas. Air tersebut biasanya dibawa pulang peziarah karena dipercaya mujarab bagi ketenangan jiwa.
Saat ini di Timur makam berdiri balai cukup luas dan tinggi. Balai ini berfungsi sebagai tempat istirahat peziarah. Persis di Timurnya lagi berdiri rumah bilik bambu yang dihuni oleh Asmat, juru kunci makam Mbah Dowo.
Selain itu komplek makam Mbah Dowo juga sudah dilengkapi dua kamar mandi untuk MCK. Namun lokasi wisata spritual tersebut belum dilengkapi aliran listrik. Hanya lampu minyak yang menjadi satu-satunya penerangan di malam hari.
PANTAI NGAGELAN
Pantai Ngagelan dapat letaknya sekitar 3 km dari pos Rawa Bendo melalui jalan makadam. Atau kalau dari Pantai Trianggulasi jaraknya 7 km ke arah barat. Tentunya lebih mudah mencapainya dari pos Rawa Bendo. Sepanjang perjalanan Anda akan menyusuri hutan bambu yang lebat dan hutan pohon mahoni.
Pantai Ngagelan merupakan tempat penetasan telur penyu semi alami dan lokasi pendaratan 4 jenis penyu yang ada di Indonesia, yaitu Penyu Lekang, Penyu Sisik, Penyu Belimbing dan Penyu Hijau. Puncak pendaratan penyu biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September.
Pantai Ngagelan |
HUTAN MANGROVE BEDUL
Bedul merupakan kawasan hutan mangrove seluas 1.200 hektare yang membentang sejauh 18 kilometer. Dari Pos Rowo Bendo jaraknya sekitar 12 km yang harus ditempuh melalui jalur treking. Di kawasan ini terdapat muara sungai Segoro Anak yang merupakan muara sungai yang terhubung dengan laut selatan. Untuk menjelajahi hutan mangrove Bedul Anda bisa menyewa perahu gondang-gandung.
Nama Bedul diambil dari nama ikan gabus yang memiliki sirip di punggungnya. Ikan Bedul banyak hidup di wilayah sekitar Segoro Anakan dan sering dijadikan lauk sehari-hari oleh masyarakat sekitar.
Kawasan Bedul dengan hutan mangrovenya.
PANTAI PARANG IRENG
Pantai Parang Ireng letaknya sekitar 1 km dari Pos Pancur ke arah Pantai Plengkung, merupakan sebuah pantai yang cukup unik. Pantai ini memiliki pasir yang berbulir-bulir seperti butiran merica atau gotri dan ketika diinjak, kaki serasa amblas ke dalamnya. Selain itu bebatuan karang yang terdapat di panta ini banyak terdapat lumut yang menempel.
Pantai Parang Ireng |
PANTAI PLENGKUNG
Biasanya, Pantai Plengkung menjadi tujuan utama atau tujuan akhir bagi pengunjung Taman Nasional Alas Purwa. Untuk mencapai Pantai Plengkung, pengunjung harus menuju Pos Pancur terlebih dahulu, yang berjarak 5 km dari pintu masuk Taman Nasional Alas Purwo. Dari Pos Pancur jalan ke Plengkung masih 9 km dari dengan kondisi jalan rusak.
Kendaraan umum tidak boleh masuk sampai Plengkung, tapi harus diparkir di Pos Pancur dan selanjutnya menuju Plengkung dengan mobil pick up khusus yang disediakan oleh pengelola.
Kendaraan umum tidak boleh masuk sampai Plengkung, tapi harus diparkir di Pos Pancur dan selanjutnya menuju Plengkung dengan mobil pick up khusus yang disediakan oleh pengelola.
Pantai Plengkung |
Pantai Plengkung lebih dikenal sebagai Pantai G-Land di kalangan wisatawan mancanegara. Selain memiliki ombak setinggi 6 meter bahkan lebih, pantai ini juga mempunyai panorama cantik pasir putih yang halus dan bebatuan karang di tepiannya. Pantai Plengkung juga dikenal sebagai salah satu tempat surfing terbaik di dunia. Ombaknya yang besar ini tidak bisa dijumpai setiap saat, namun hanya pada bulan April sampai Oktober setiap tahunnya, dengan puncaknya pada Agustus. Jadi Anda berkunjung diluar bulan tersebut, Anda hanya akan menjumpai ombak yang kecil dan tidak terlihat aktivitas surfing di sana.
Wisatawan asing sedang berselancar di pantai Plengkung. |
Blogger Comment
Facebook Comment